
Wilma Chrysanti - 14 November 2016
"Aduh,
capek gak kuat nih saya kalau mesti angkut sampah sebanyak gini tiap
hari," ucap seorang petugas kebersihan yang telah berusia lanjut sambil
tersendat mendorong gerobak sampahnya.
Aksi teatrikal pak Jayadi ini membuka mini drama yang merupakan sesi berbagi dari 15 (lima belas) warga pelopor dari 3 (tiga)
kampung: Krapu, Tongkol, dan Lodan yang telah jawab tantangan 7 (tujuh) hari #RumahTanpaSampah. Mini drama ini sendiri merupakan bagian dari rangkaian acara perayaan hari
Ciliwung yang ke-5 dan ulang tahun Komunitas Anak Kali Ciliwung yang
pertama hari Sabtu-Minggu 12-13 Nopember 2016 kemarin.
Keluhan
pak Jayadi tadi, didengar oleh beberapa ibu, yang diperankan
oleh bu Yayuk dan bu Risma. Inilah yang kemudian mendorong ibu-ibu ini
untuk mencari cara agar mampu kurangi sampah masing-masing rumahnya,
agar pak Jayadi yang juga adalah tetangga juga kerabat dekat mereka,
terbebas dari beban deritanya. “Kasihan pak Jayadi. Yuk kita belajar
kurangin sampah,” kata bu Yayuk kepada bu Risma.
Ibu-ibu ini
berkumpul dan kemudian temukan adanya tiga strategi sederhana yang bisa dicoba
untuk memulai praktik mengurangi sampah rumahnya: strategi pintu depan
(sebelum konsumsi), pintu tengah (saat konsumsi), dan pintu belakang
(setelah konsumsi). Lewat 3 (tiga) strategi ini ibu-ibu tersebut mulai
merumuskan praktik-praktik sederhana yang dekat dengan kesehariannya.
Bu
Kamrida dan bu Andi Nani, saat berbelanja sayur, meminta bu Purwati
yang berperan sebagai pedagang sayur, dipilihkan tempe yang berbungkus
daun juga beberapa bahan masak lainnya, "Gak usah dibungkus plastik bu.
Saya bawa aja. Ini saya udah bawa tas sama wadah." bu Purwati, terlihat
bingung dengar permintaan bu Kamrida dan bu Andi Nani, karena ini bukan
hal yang biasa dialaminya sebagai pedagang sayur keliling. "Iya, ini
biar gak hasilin sampah di rumah," begitu bu Kamrida buru-buru jelaskan,
biar tidak dianggap aneh. Percakapan keduanya berlanjut hingga bu
Purwati bersedia berikan potongan sebesar 500 rupiah tiap belanja
minimal 10 ribu rupiah bagi yang membawa tas sendiri atau tidak meminta
kantong plastik. "Nah, ibu-ibu jangan lupa ya. mbak Kanti (red: pedagang
sayur keliling di kampung mereka), udah setuju mau kasih diskon kalau
kita gak pake kantong plastiknya ya," begitu promosi bu Kamrida dan bu
Andi Nani menutup segmen mereka. Bu Oci, berkeliling sambil membawa
papan, bak pertandingan tinju, yang bertuliskan ‘pintu depan’.
Pada
segmen kedua, bu Rina tampil bersama anaknya yang pelajar sekolah dasar, diperankan oleh mbak Ina. Bu Rina ingatkan putrinya yang tidak
habiskan makanannya. "Ambil secukupnya aja, kalau kurang baru ambil
lagi. Biar gak ada sisa yang dibuang." Bu Rina juga ajak putrinya untuk
tidak terlalu banyak jajan di sekolah, yang ujung-ujungnya membuat
masakan di rumah sering tidak termakan dan jadi terbuang sia-sia.
"Sayang dong, ini masakan banyak kebuang. Besok mulai belajar bawa
makanan aja dari rumah. Belajar kurangin jajannya. Selain hemat juga
bakal kurangin sampah." ‘Pintu tengah’, begitu bunyi tulisan di papan
yang bu Oci bawa, tutup segmen ini.
Bu Asnah, bu Endang, bu
Wasti, bu Risma, dan bu Yayuk tampil di segmen terakhir. Ceritakan
bagaimana sisa organik dan yang bisa didaur ulang tidak perlu berakhir
di tempat sampah. “Bu, kapan lewat sini lagi? Saya mau siapin sisa botol
yang udah dikumpulin. Dari pada dibuang mending diloakin,” tanya bu
Endang kepada bu Asnah yang sedang mainkan peran sebagai tukang loak
keliling.
“Eh bu. Daun-daun sama sisa sayurnya nya jangan dibuang. Ditaro di
komposter saya aja. Biar jadi kompos dan dipakai untuk nanem-nanem,”
teriak bu Wasti saat lihat bu Risma yang akan buang daun dan potongan sayur ke
tempat sampah. Inilah yang kemudian ditegaskan oleh bu Oci, lewat papan
yang dibawanya, sebagai strategi ‘pintu belakang’.
Setelah
selesainya keseluruhan segmen mini drama ini, acara dilakukan dengan
sesi berbagi warga pelopor lain yakni bu Sukaedah, bu Darsih, serta bu
Ning. Ketiga ibu ini adalah perwakilan dari masing-masing kampung
(Krapu, Tongkol, serta Lodan), yang kemudian membagi pengetahuan serta
strategi praktis lainnya yang bisa dilakukan untuk kurangi sampah rumah
tangga. Mulai dari mengganti kemasan saset sampo menjadi ukuran botol
yang lebih besar hingga pemanfaatan nasi untuk diolah jadi cemilan
krupuk ‘intip’, untuk kurangi belanja cemilan.
Kelima belas warga pelopor ini jawab tantangan 7 (tujuh) hari #RumahTanpaSampah dan mampu kurangi sampahnya mulai dari 42,6 hingga 88,2 %. Warga
yang berhasil memroduksi pengetahuan ini layak menjadi bintang acara,
sekaligus bintang gerakan-gerakan selanjutnya. Sebab lewat warga yang
bergerak dengan pengetahuannya, masa depan yang lestari punya harapan
untuk terjadi.
Kampung tanpa sampah, kota tanpa sampah, mungkin!